Alih-alih menjadi ruang aman tempat menimba ilmu, kampus justru kerap menjadi tempat terjadinya Kekerasan Berbasis Gender (KBG). Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2024 yang dirilis Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), terdapat 14.094 korban kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dengan status pelajar atau mahasiswa. Meski belum banyak data khusus yang mencatat kekerasan terhadap laki-laki pelajar atau mahasiswa, bukan berarti kasus ini tidak terjadi juga. Keberadaan lembaga yang berfungsi untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seharusnya tidak hanya menjadi simbol, tetapi hadir dengan kinerja nyata dalam melindungi mahasiswa.
Fenomena Kekerasan Berbasis Gender
Kampanye berupa slogan kampus inklusif acap kali digaungkan. Tetapi, di balik slogan tersebut, kekerasan berbasis gender masih menjadi permasalahan. Menurut United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), KBG adalah kekerasan yang dilakukan terhadap seseorang karena jenis kelamin atau gendernya. Tidak selalu tampak secara fisik, sering kali muncul kekerasan dalam bentuk verbal dan nonverbal yang sebenarnya banyak disadari orang, tetapi tidak dianggap sebagai bentuk kekerasan sehingga terus dinormalisasi.
Namun, KBG tidak selalu berkaitan langsung dengan tindakan bernuansa seksual, seperti yang diutarakan oleh Ni’mah, Dosen Program Studi (Prodi) Sosiologi ULM. “Sekadar memberikan tatapan tajam dan kegiatan body shaming merupakan sebuah bagian dari kekerasan seksual,” ungkapnya dalam wawancara langsung, Selasa (1/7).
Di era digital, bentuk kekerasan ini bahkan semakin berkembang, kekerasan seksual turut berevolusi dalam bentuk daring. Noor Hafizah, anggota Divisi Pengembangan dan Pemulihan dari Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (Satgas PPK) ULM, mengungkapkan kekerasan berbasis daring dan verbal banyak terjadi. “Berawal dari Telegram, lalu memulai obrolan dengan orang asing, kemudian pindah ke WhatsApp dan akhirnya ada menukar foto-foto pribadi, munculah ancaman penyebaran, hingga teror daring,” jelasnya dalam wawancara secara langsung, Senin (30/6).
Upaya Ciptakan Ruang Aman
Guna mewujudkan kampus yang aman dan bebas kekerasan, ULM membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) sesuai Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 30 Tahun 2021. Hafizah menjelaskan tujuan utama Satgas ini adalah mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual. Tetapi, setelah terbitnya Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024, cakupannya diperluas menjadi Satgas PPK yang beranggotakan dosen dan mahasiswa. Satgas ini kini menangani berbagai jenis kekerasan, seperti kekerasan verbal, non-verbal, hingga Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di ruang lingkup ULM.
Hafizah menambahkan, Satgas PPK mempunyai beberapa program untuk menciptakan lingkungan kampus yang bebas dari kekerasan. “Kita mengadakan edukasi mulai dari civitas akademika, mahasiswa, hingga petugas kebersihan. Selain itu, pada setiap semester Satgas PPK juga mengadakan seminar nasional dan kampanye bersama mahasiswa,” imbuhnya.
Dalam proses penanganan, Satgas PPK menerima laporan melalui SIMARI dan menanganinya dengan sangat menjaga kerahasiaan. “Sebuah kasus biasanya hanya diketahui oleh tim kecil, sekitar tiga sampai empat orang. Setelah laporan masuk, kami memanggil pelapor dan terlapor untuk menyusun kronologi. Jika yang terlibat adalah bagian dari ULM, kami akan membuat rekomendasi kepada rektor,” jelasnya.
Lebih lanjut, Hafizah menegaskan bahwa Satgas PPK juga menjalin kerja sama dengan berbagai instansi, baik di internal maupun eksternal. “Ada penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dengan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Selain itu, kami juga bekerja sama dengan instansi luar di Kalimantan Selatan, seperti kepolisian, Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH), Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga (LKBHuWK) dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A),” tegasnya.
Meski begitu, upaya Satgas PPK untuk mewujudkan kampus yang aman dan bebas kekerasan tidak lepas dari berbagai hambatan. “Hambatannya, masih banyak orang yang lebih percaya mengadu ke akun menfess atau akun curhat di media sosial dibanding mengajukan aduan resmi ke Satgas sehingga tidak bisa ditindaklanjuti,” ujar Hafizah.
Selain itu, keterbatasan perangkat untuk melacak pelaku kejahatan secara daring juga menjadi hambatan utama. “Ada juga kendala di bagian KBGO karena untuk bisa menjangkau pelaku kita harus bekerja sama dengan kepolisian, sehingga prosesnya jauh lebih panjang karena harus mengikuti birokrasi instansi lain,” jelasnya.
Faktor Pemicu Kekerasan di Dunia Akademik
Di ruang akademik yang penuh keragaman, potensi konflik tersembunyi kerap tidak disadari. Menurut Hafizah, lingkungan akademik yang mempertemukan individu dari latar belakang dan pola kebiasaan yang beragam bisa menjadi salah satu pemicu kekerasan. “Perbedaan pola kebiasaan dapat memicu kekerasan, karena adanya ketimpangan dalam cara menerima sebuah perilaku. Satu pihak mungkin menganggap tindakannya wajar, sementara pihak lain merasa tindakan tersebut tidak pantas,” jelasnya.
Dalam dinamika kehidupan kampus, interaksi antar individu merupakan hal yang tak terelakkan, termasuk antara laki-laki dan perempuan. “Salah satu penyebabnya karena manusia memiliki kebutuhan biologis, gairah seksual yang tidak tersampaikan, ditambah perilaku permisivisme yang dimiliki oleh pelaku mendorong terjadinya kekerasan seksual,” tutur Ni’mah.
Di sisi lain, pandangan berbeda dikemukakan Rahmi Fauzia, Dosen Psikologi ULM. Menurutnya ada pihak-pihak tertentu yang justru memanfaatkan momen tersebut untuk melakukan pelanggaran. “Interaksi antara laki-laki dan perempuan tidak selalu menyebabkan kekerasan seksual atau kekerasan berbasis gender. Tetapi, ada pihak yang melihat itu sebagai kesempatan, lalu menyalahgunakannya,” ujarnya dalam wawancara daring, Kamis (3/7).
Dampak Psikologis dan Siklus Kekerasan
Dampak serius dari kekerasan seksual tidak hanya mencakup trauma jangka panjang, tetapi juga reaksi spontan korban saat kejadian. Menurut Hafizah, salah satu reaksi umum yang terjadi saat korban mengalami kekerasan seksual adalah freezing, yaitu kondisi ketika tubuh dan pikiran korban membeku akibat syok. “Korban bereaksi nge-freeze, kaget dan trauma,” jelasnya. Ia menambahkan, salah satu tantangan Satgas PPK dalam hal penanganan adalah dampak psikologis yang dialami korban dan membantu korban pulih agar bisa kembali melanjutkan aktivitas perkuliahan.
Dwi Nur Rachmah selaku Dosen Psikologi ULM, menilai bahwa pola perilaku korban cenderung diam dan tidak berani melapor kepada pihak kampus dipengaruhi oleh konstruksi sosial yang melekat kuat di masyarakat. “Muncul dari perasaan korban bahwa kekerasan seksual ini adalah sesuatu hal yang buruk, sehingga korban khawatir jika melapor akan dipandang negatif secara sosial, lalu memilih untuk diam,” ungkapnya dalam wawancara daring, Kamis (3/7).
Selaras, Felisha Azzahra, Mahasiswa Prodi Hukum ULM, mengungkapkan bahwa diamnya korban adalah cerminan dari minimnya jaminan perlindungan dan sistem belum mampu memberikan rasa aman. “Dalam teori Viktimologi, diam bukan berarti tidak ada luka, tetapi menandakan absennya ruang aman secara psikologis dan sosial yang seharusnya dijamin oleh negara maupun institusi pendidikan,” ungkapnya.
Di tengah upaya menciptakan ruang aman, terdapat pola perilaku pelaku kekerasan seksual yang masih berulang. Rahmi, menjelaskan sudut pandang psikososial dari pola ini. “Kekerasan seksual terjadi berulang karena perilaku pelaku terbentuk secara sosial, dibenarkan dan dianggap wajar, memberikan peluang perilaku tersebut berkembang,” jelasnya.
Rahmi menambahkan, perilaku kekerasan seksual yang dinormalisasi dan ketidaktegasan dalam pemberian sanksi, menjadi faktor utama yang mendorong terjadinya pengulangan tindakan kekerasan tersebut. “Dalam memberikan sanksi, institusi dan regulasi harus tegas. Tidak hanya lembaga pengaduan, tetapi keberanian menindak secara tegas,” pungkasnya.
Menilik Urgensi Ruang Aman
Upaya universitas dalam menghadapi kekerasan berbasis gender ini mendapat berbagai tanggapan dari mahasiswa. Cindy Nur Aulia, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan ULM, menilai bahwa ruang aman yang diciptakan kampus masih belum optimal dan responsif. “Kampus ini masih belum optimal dalam menciptakan ruang aman serta mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual, terutama dalam hal memberikan respon cepat terhadap setiap laporan,” ucapnya saat diwawancarai secara daring, Senin (1/7).
Hal serupa juga diungkapkan oleh Felisha. Ia menilai, kampus masih belum maksimal dalam menciptakan ruang aman untuk mahasiswa. “ULM belum dapat dikatakan maksimal secara normatif, keberadaan Satgas PPK merupakan langkah progresif. Akan tetapi secara fungsional, kampus masih belum sepenuhnya menjangkau kebutuhan mahasiswa, yakni keadilan restoratif, pencegahan yang sistematis, serta penindakan yang tegas,” ungkapnya.
Peran tenaga pendidik juga dinilai penting dalam mewujudkan kampus yang aman dari KBG, seperti yang diungkapkan Dwi. “Peran dosen dimulai dari hal-hal yang tampak sederhana tapi berdampak besar seperti membangun relasi yang positif dengan mahasiswa, menggunakan bahasa yang menghargai, serta menciptakan suasana kelas yang inklusif dan bebas diskriminasi. Dosen juga berperan dalam membangun budaya kampus yang responsif terhadap kekerasan berbasis gender. Ini bisa dilakukan dengan menjadi pendengar yang aman bagi mahasiswa, mengenali tanda-tanda kekerasan, serta merujuk korban ke unit layanan atau satgas kampus,” tuturnya.
Adapun peran Organisasi Mahasiswa (Ormawa) dalam mencegah KBG salah satunya lewat program yang dijalankan. Seperti disampaikan Dhea Salsabila, Kepala Departemen Pemberdayaan Perempuan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP ULM. “Dengan adanya program seperti Ruang Puan Caring yang menyediakan layanan pengaduan melalui tautan formulir daring dan telepon darurat untuk membantu korban melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami. Setiap laporan bersifat rahasia sesuai persetujuan korban. Jika diizinkan, laporan dapat diteruskan kepada pihak berwenang, psikolog, atau jalur mediasi. Dalam menindaklanjuti hal tersebut, kami menjalin kerja sama dengan Satgas PPK,” jelasnya.
Mengiringi langkah yang ditempuh untuk menciptakan kampus yang aman, muncul harapan agar upaya ini benar-benar berpihak kepada korban dan bukan sekedar formalitas. Felisha menyampaikan harapannya agar kampus juga bisa memperkuat edukasi. “Saya harap ULM tidak berhenti pada pendekatan formalistik, tetapi mulai membangun budaya hukum yang berpihak pada korban. Edukasi hukum, pelatihan gender sensitivity, dan transparansi Satgas PPK harus diperkuat,” tuturnya.
Terakhir, dengan menjadi bagian penting dalam pencegahan KBG di lingkungan kampus, Ni’mah berharap Satgas PPK melakukan tugasnya sebaik mungkin. “Harapan saya, Satgas yang dibentuk oleh ULM benar-benar bekerja, mulai dari pemantauan, evaluasi, pelaporan, dan perlindungan terhadap korban ini benar-benar menjadi suatu elemen yang diperhatikan, agar kasus serupa tidak terulang,” tutupnya.
(MRS, DIN, RYN)









Leave a Reply