Pendidikan tinggi kerap dipandang sebagai gerbang menuju masa depan yang lebih baik dengan gelar yang menjanjikan prestise. Bagi banyak orang, kuliah adalah impian mahal yang sulit dijangkau, namun tetap dikejar demi harapan mengubah nasib. Berbeda dari pendidikan dasar dan menengah yang diwajibkan pemerintah, perguruan tinggi hanya dinikmati sebagian masyarakat karena biaya dan persaingan masuk yang ketat. Ironisnya, perjuangan dan pengorbanan itu kerap berujung pada kekecewaan ketika kampus yang diharapkan menjunjung integritas justru terjebak dalam pelanggaran kode etik.
Remedi Mencerdaskan Bangsa
Institusi perguruan tinggi identik dengan keselarasan etika, pengabdi moral, serta integritas tinggi—setidaknya begitulah reputasi yang digemborkan. Peranan inti sebuah institusi perguruan tinggi tertulis jelas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka sudah semestinya peranan tersebut dijalankan sesuai hukum yang berlaku. Namun, realitanya tidaklah sesuci yang kita pikirkan.
Tanpa perlu repot menelusuri, berbagai kasus yang mencoreng citra perguruan tinggi sudah banyak berseliweran di telinga dan mata. Sebut saja kasus fraud dalam penyetaraan guru besar di Universitas Malahayati. Akibat jabatan yang disandang tak sesuai prosedur akademik dan dideteksi sebagai kecurangan, akhirnya gelar profesor Taruna Ikrar resmi dicabut oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) pada 30 Agustus 2023 silam.
Di perguruan tinggi lain, terjadi pula kasus serupa. Pada Juli 2024, 11 guru besar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) melakukan rekayasa karya ilmiah demi menyandang gelar dengan instan. Bermula dari adanya laporan anonim, pengaduan tersebut dikonfirmasi oleh Direktur Sumber Daya Manusia Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan. Salah satu bentuk rekayasa yang dilakukan adalah mengirimkan artikel ilmiah ke jurnal predator. Setelah ditindaklanjuti oleh Kemendikbudristek dan sempat mengalami penurunan status akreditasi, 16 guru besar ULM kembali diperiksa dengan kasus yang sama.
Padahal, kewajiban menjaga mutu pendidikan tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 53 Tahun 2023. Bahkan hukum mengenai tahapan-tahapan untuk menduduki jabatan sebagai guru besar juga dijelaskan pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan RB) No. 46 Tahun 2013, kemudian dipertegas lagi oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 Pasal 23. Meski terikat dengan peraturan resmi negara, institusi perguruan tinggi yang dielu-elukan sebagai tempat berkumpulnya orang-orang intelektual masih saja remedi dalam menerapkan nilai-nilai pendidikan.
Efek Berantai Pelanggaran Akademik
Ketika mekanisme hukum bagi pelanggar kode etik tidak dijalankan secara tegas, pesan yang tersampaikan kepada publik adalah bahwa pelanggaran tersebut bisa ditoleransi. Situasi ini membuat masalah tidak berhenti pada individu pelaku, melainkan menyebar dan menggerus fondasi kepercayaan terhadap dunia akademik. Dari titik inilah, berbagai dampak mulai terasa di banyak sisi.
Dampak pertama yang paling terlihat adalah rusaknya citra perguruan tinggi. Lembaga yang seharusnya menjadi simbol keilmuan dan kebanggaan publik justru berubah menjadi bahan kritik dan cibiran. Kepercayaan publik pun perlahan terkikis, karena citra yang dibangun dengan kerja keras selama bertahun-tahun bisa runtuh hanya karena satu tindakan yang merusak nilai akademik.
Dampak kedua yang dirasakan adalah prestasi kampus yang dinilai buruk. Selama ini keberhasilan perguruan tinggi kerap diukur dari jumlah program studi terakreditasi unggul, banyaknya guru besar, banyaknya penelitian, hingga publikasi di jurnal bereputasi internasional. Capaian tersebut memang bisa menjadi kebanggaan, tetapi jika diperoleh dengan mengabaikan integritas, prestasi itu justru menjelma menjadi ironi yang mencoreng nama baik kampus.
Dampak ketiga adalah bergesernya cara pandang mahasiswa terhadap nilai kejujuran. Pendidikan tinggi yang semestinya menjadi ruang pembelajaran sekaligus pembentukan karakter kini mulai kehilangan makna, ketika pelanggaran kode etik dianggap sebagai hal yang lumrah oleh mahasiswa. Dalam kondisi seperti ini, nilai-nilai kejujuran yang seharusnya dijunjung tinggi mulai memudar, membuat batas antara benar dan salah semakin tipis, serta melemahkan motivasi untuk menempuh jalur akademik yang bersih dan adil.
Dampak terakhir yang timbul adalah spekulasi publik yang memancing dugaan. Situasi ini semakin rumit ketika pihak kampus memilih diam dengan dalih menjaga nama baik institusi. Sikap tertutup terhadap kasus tersebut justru memicu ruang kosong informasi yang cepat diisi oleh spekulasi publik. Alih-alih meredam masalah, ketertutupan tersebut malah memperburuk kepercayaan karena publik merasa hanya disuguhi potongan cerita. Sikap ini malah memunculkan pertanyaan publik soal komitmen kampus terhadap integritas.
Akar Krisis Integritas
Dampak pelanggaran integritas akademik yang merusak citra kampus perlu ditelusuri ke akar persoalannya. Negara kita terlalu terobsesi dengan skema angka kredit untuk kenaikan jabatan fungsional. Hal ini tercantum dalam Permen PAN-RB No. 17 Tahun 2013 yang kemudian diperbarui melalui Permen PAN-RB No. 46 Tahun 2013.
Kedua regulasi ini mewajibkan dosen mengumpulkan angka kredit, yaitu sistem penilaian yang dipakai untuk menentukan kenaikan jabatan fungsional dosen. Poin ini dihitung dari empat bidang tridharma perguruan tinggi yang mencakup pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan penunjang akademik seperti mengikuti seminar atau menulis buku. Tujuannya adalah mendorong dosen aktif dan produktif. Beban ini sering membuat dosen berlomba-lomba mengejar angka, terjebak pada rutinitas administratif. Kondisi ini menciptakan kompromi terhadap etika, mengesampingkan kualitas yang mengedepankan integritas.
Tekanan ini diperparah oleh kultur kampus yang abai terhadap nilai kejujuran. Alih-alih menanamkan etika akademik, banyak institusi justru terjebak ambisi menaikkan reputasi kampus secara instan. Padahal sistem pendidikan tinggi memiliki pengawasan berjenjang. Di tingkat kampus, rektor bersama senat akademik dan Satuan Pengawas Internal (SPI) bertugas memastikan setiap kegiatan akademik berjalan sesuai kode etik sedangkan di luar kampus, lembaga akreditasi seperti BAN-PT dan kementerian terkait wajib melakukan evaluasi rutin dengan mekanisme terbuka agar publik bisa menilai. Sayangnya, pengawasan yang lemah dan sanksi yang tidak tegas memperkuat siklus pelanggaran. Tanpa adanya pembenahan sistemik, pelanggaran ini akan terus berulang.
Jalan Keluar Pemecahan Masalah
Setelah memahami akar persoalan pelanggaran integritas akademik, langkah berikutnya adalah memastikan adanya mekanisme yang efektif dengan melihat dari berbagai aspek lainnya. Mekanisme yang dijalankan dapat berupa mekanisme pencegahan, penanganan, pengawasan dan penindakan. Tentunya penindaklanjutan yang efektif diperlukan dalam menjalankan mekanisme-mekanisme tersebut, dengan membuat majelis anti pelanggaran kode etik tingkat universitas yang bertugas untuk menyelidiki, mengumpulkan bukti, dan melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Dengan ini, pengulangan kasus serupa dapat diminimalisir.
Namun, aturan seketat apa pun tak akan cukup tanpa diiringi pembenahan pada level moralitas individu. Salah satu langkah mendasar yang sering terabaikan adalah membangun kembali rasa malu terhadap pelanggaran, dengan cara melakukan sosialisasi aturan di lingkungan kampus dan melakukan diskusi terbuka secara aktif dengan melibatkan dosen, tenaga kependidikan, maupun mahasiswa. Di sini, rasa malu yang ditanamkan bukanlah karena tertangkap, melainkan malu karena menyadari bahwa setiap tindakan curang mencoreng nama baik institusi pendidikan. Kesadaran moral semacam ini dapat menjadi benteng pertama sebelum seseorang tergoda mencari jalan pintas.
Tak hanya lembaga pendidikan yang harus menjalankan mekanisme-mekanisme sebelumnya. Negara sebagai pemegang otoritas, pastinya bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan sebagai bentuk janji konstitusi. Sudah seharusnya negara melakukan tindak lanjut dengan penyelidikan, pemeriksaan dan penetapan hukum yang sesuai terhadap para pelanggar bersama pihak berwajib dibantu oleh mahasiswa.
Dengan banyaknya mekanisme penyelesaian masalah di atas, tentunya dapat memberikan bukti konkret dan transparansi pemberitaan kepada publik dengan penuh keterangan.
(NEL, DAR, JEA)









Leave a Reply