Sejumlah guru besar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) menjalani pemeriksaan lanjutan oleh Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendiktisaintek RI) sejak Senin (21/7) lalu. Melansir Banjarmasin Post, pemeriksaan dilaksanakan secara tertutup di Gedung Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah XI Kalimantan dengan penjagaan lebih ketat dari biasanya.
Iwan Aflanie, Wakil Rektor 1 Bidang Akademik ULM, membenarkan adanya pemeriksaan tersebut. Akan tetapi, ia mengaku tidak mengetahui banyak. “Saya sedang di Kotabaru, jadi tidak mengikuti,” ujarnya saat diwawancarai secara daring, Rabu (23/7).
Keterangan serupa disampaikan oleh Hadin Muhjad, Ketua Senat ULM. “Kami telah berusaha, akan tetapi tidak memperoleh informasi dan data,” ungkapnya saat diwawancarai secara daring, Rabu (23/7). Dalam struktur birokrasi, evaluasi ulang jabatan akademik guru besar memang menjadi domain eksklusif kementerian terkait, sehingga pihak kampus mengalami keterbatasan akses informasi lebih lanjut.
Melalui liputan oleh Radar Banjarmasin, sumber dari internal ULM menyebut bahwa proses yang berlangsung tak lagi sebatas pemeriksaan administratif. “Pemeriksaan sudah lewat, tinggal penjatuhan hukuman disiplin,” ujar sumber tersebut, Jumat (18/7). Ia bahkan memastikan bahwa gelar guru besar dari nama-nama yang terlibat telah dihapus di sistem kepegawaian.
Pemeriksaan terhadap 16 guru besar ini dilaksanakan oleh tim berjumlah 21 orang dari Irjen Kemendiktisaintek RI dengan mencakup lima aspek utama. Di antaranya pendalaman terhadap mekanisme pengusulan jabatan guru besar, khususnya dugaan keterlibatan biaya tertentu yang harus dibayar oleh calon guru besar. Selain itu, tim inspektorat juga memeriksa peran aktor intelektual yang diduga terlibat dalam promosi jabatan melalui jaringan jurnal predator internasional.
Tak hanya soal metode dan aktor, pemeriksaan juga mencakup pelacakan aliran dana serta pendalaman silang antara data yang dikumpulkan dengan pengakuan para terperiksa. Hal ini menandai bahwa proses pemeriksaan dilakukan secara menyeluruh, bukan hanya pada aspek administratif melainkan juga menyentuh integritas akademik dan kemungkinan penyalahgunaan wewenang.
Tim LPM INTR-O telah berupaya meminta konfirmasi pihak Kemendiktisaintek RI. Akan tetapi, belum ada respons sampai berita ini ditayangkan.
Situasi ini menimbulkan reaksi beragam dari kalangan civitas akademika. Rina Maulina, mahasiswa Administrasi Publik 2023 ULM, menyoroti pentingnya transparansi untuk menjaga kepercayaan mahasiswa terhadap institusi. Ia memahami jika pemeriksaan dilakukan tertutup untuk menjaga kondusivitas, akan tetapi diperlukan juga kejelasan dari pihak kampus agar tidak menimbulkan tafsir liar di kalangan mahasiswa. “Minimal informasi dasarnya bisa kita akses,” ujarnya dalam wawancara daring, Kamis (24/7).
Pandangan berbeda datang dari Harfa Arba, mahasiswa Ilmu Komunikasi 2023 ULM, yang justru mengaku tidak lagi menaruh harapan pada transparansi kampus. Ia menyoroti keterlambatan rilis informasi yang bermuara pada formalitas semata. “Saya sudah di tahap tidak bisa berekspektasi lebih akan bagaimana komitmen integritas yang dibawakan oleh para pemangku jabatan ULM,” tuturnya saat diwawancarai secara daring, Kamis (24/7).
Di samping mempertanyakan transparansi, sebagian mahasiswa mulai mencemaskan kemungkinan dampak lanjutan, mengingat kasus serupa yang sempat memengaruhi citra hingga akreditasi kampus. Kekhawatiran ini disampaikan oleh Akhmad Syahwan, mahasiswa Ilmu Hukum 2022 ULM, yang mengaku khawatir terhadap imbasnya bagi mahasiswa. “Kekhawatiran saya bukan soal siapa yang salah, melainkan dampaknya terhadap mahasiswa. Misalnya, penurunan akreditasi dapat mempengaruhi nilai ijazah kami, kesempatan kerja, bahkan peluang studi lanjut,” jelasnya saat diwawancarai secara daring, Kamis (24/7).
Kekhawatiran tersebut disanggah oleh Agung Nugroho, Kepala Lembaga Penjamin Mutu dan Pengembangan Pembelajaran (LPMPP) ULM. Ia menegaskan bahwa pemeriksaan terhadap 16 guru besar ULM tidak berdampak pada status akreditasi. “Tidak berkaitan dengan LPMPP maupun akreditasi. Sanksi juga telah diberlakukan, pemeriksaan terhadap 16 guru besar ini hanya lanjutan kasus tahun lalu,” ujarnya dalam wawancara, Rabu (23/7).
Pemeriksaan ini merupakan babak baru dari polemik yang mencuat sejak 2024 lalu, kala puluhan dosen dari berbagai fakultas ULM terseret dalam dugaan pelanggaran etik akademik. Meski daftar nama tidak pernah diumumkan secara eksplisit, Kemendiktisaintek mengklaim telah mencabut status guru besar dari 11 dosen yang terduga melakukan pelanggaran sebelumnya. Sementara nasib dosen lainnya yang turut tercantum dalam laporan masih belum ada kejelasan.
Kini, dengan munculnya 16 nama baru dalam pemeriksaan lanjutan, skandal yang sebelumnya sempat dianggap selesai setelah status akreditasi ULM kembali Unggul ternyata masih menyisakan banyak tanda tanya.
Dugaan kuat menyebut bahwa pemeriksaan masih berkutat pada persoalan publikasi ilmiah yang tak sesuai standar, termasuk penggunaan jurnal predator dan jalur percepatan yang tidak transparan. Belum diketahui secara pasti apakah mereka adalah bagian dari nama-nama lama yang belum dijatuhi sanksi, atau justru tokoh baru yang terindikasi melakukan pola pelanggaran serupa pasca-reformasi internal kampus.
(KYE, NIE)









Leave a Reply