Di penghujung semester, jumlah nilai yang diterima seakan masih menjadi kontroversi di kalangan mahasiswa. Hal tersebut terlihat dalam unggahan anonim di akun Instagram @curhatanulm, Rabu (26/7), yang berisikan keluhan terkait sistem penilaian dosen yang dianggap tidak transparan dan terbilang subjektif. Nilai yang dirasa tidak sesuai pun membuat segelintir mahasiswa berspekulasi tentang tingkah laku dosen dalam memberikan penilaian.
Mahasiswa Kemukakan Asumsi
Unggahan yang menarik atensi publik tersebut menuai pro kontra dari mahasiswa. Tidak sedikit dari mereka beranggapan bahwa dosen memberikan nilai berdasarkan suasana hatinya, seperti yang diungkapkan Wildan Maldani Rahman, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan 2021. “Beberapa dosen sangat dipengaruhi oleh mood dalam menilai. Kalau mood-nya bagus, nilainya juga bagus. Begitu pula sebaliknya,” tukasnya saat diwawancarai secara daring pada Jumat (21/7). Wildan menambahkan bahwasanya dosen sepatutnya mengedepankan objektivitas karena nilai menjadi hal yang krusial. “Nilai tentu berpengaruh ke Indeks Prestasi (IP), jadi sebaiknya dosen lebih cermat dalam menilai,” jelasnya.
Tidak jauh berbeda, AM Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) 2021 mengungkapkan kekecewaannya lantaran nilai yang didapatkan kentara berbeda dibanding mahasiswa yang dirasa kurang serius dalam perkuliahannya. “Rasanya tidak adil karena banyak dari mereka yang titip absen, tetapi nilainya aman,” ucapnya saat diwawancarai secara daring, Kamis (20/7).
Meski begitu, nyatanya tidak semua mahasiswa berasumsi negatif terhadap penilaian yang diberikan oleh dosen. Sultan Nuhly Rifa selaku Mahasiswa Pendidikan Fisika 2021 justru merasa tidak keberatan dengan nilai yang diberikan dan percaya pada penilaian dari dosen. “Kebanyakan mahasiswa mengartikan hanya tugas saja yang menjadi penilaian dosen, padahal etika juga menjadi nilai plus di mata dosen,” ujarnya saat diwawancara daring pada Sabtu (22/7). Sultan juga mengatakan bahwa sistem penilaian dosen telah disampaikan pada awal perkuliahan.
Terjadinya ketidakmerataan nilai yang dirasakan, mahasiswa merasa perlu adanya konsultasi terkait nilai. Mahrufah Melati Putri, Mahasiswa Pendidikan Fisika mengutarakan bahwa perlu untuk mengadakan platform guna dapat konsultasi pada nilai yang diperoleh mahasiswa. “Hendaknya dosen menyediakan sesi konsul nilai untuk pengajuan atau perbaikan nilai yang kami dapatkan,” ujarnya saat diwawancarai online pada Jumat (21/7).
Terangkan Sistem Penilaian
Tak tinggal diam atas asumsi mahasiswa yang beredar, Dimas An’amta selaku Dosen Sosiologi menyanggah stigma yang menganggap bahwa dosen menilai sesuatu didasari dengan faktor emosional. “Emosi itu manusiawi. Mungkin dosen tersebut kebetulan ada kesibukan yang berbarengan dengan waktu penilaian, sehingga bisa saja keliru,” ungkapnya saat diwawancarai secara daring, Sabtu (22/7).
Berkaitan dengan sistematika penilaian dosen, Dimas menjelaskan ada tiga penilaian yaitu, tugas, ujian tengah, kemudian ujian akhir. Penilaian tersebut biasanya menjadi fokus utama bagi mahasiswa. “Mahasiswa memberikan usahanya juga jangan serta merta kepada pembelajaran saja, perlu juga untuk diperhatikan keaktifannya, serta etikanya di dalam kelas,” ujarnya. Selain itu, Dimas mengingatkan kepada mahasiswa untuk memperhatikan pengerjaan tugas. “Tidak sedikit dari mahasiswa mengerjakan tugas hanya copy paste, hal ini juga menjadi faktor berkurangnya nilai yang diberikan,” ungkapnya.
Sejalan dengan Dimas, Muhammad Nur Iman Ridwan selaku Dosen Administrasi Publik menjelaskan bahwa setiap dosen memiliki kategori penilaiannya masing-masing. Iman mengatakan Presensi kehadiran juga turut berperan penting dalam perkuliahan. “Mahasiswa harus sadar dengan daftar kehadiran mereka, karena persentase kehadiran juga masuk penilaian,” ucapnya saat ditemui secara langsung pada Kamis (20/7).
Selain kategori penilaian yang sudah ada, dosen nyatanya masih memberikan kesempatan kedua untuk mahasiswa. Iman memberikan pernyataan bahwa dosen sudah memberikan kesempatan untuk mahasiswa memperbaiki nilai sebelum divalidasi. “Apabila ditemukan kesalahan atau ada yang tidak puas pada penilaian silakan disampaikan,” ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa jika nilai sudah divalidasi maka akan sulit untuk diurus, karena prosesnya panjang hingga ke Rektorat ULM.
Perlu Manfaatkan Evaluasi
Berbagai keluhan yang dilayangkan mahasiswa membuat Akbar Rahman selaku Kepala Program Studi (KPS) Arsitektur menjelaskan bahwa setiap dosen telah menyampaikan Rencana Pembelajaran Semester (RPS) yang di dalamnya dijelaskan tentang metode perkuliahan pada masing-masing mata kuliah. “Seharusnya asumsi-asumsi negatif tidak muncul karena penilaian telah disepakati di pertemuan pertama perkuliahan,” ucapnya saat diwawancarai online, Jumat (21/7). Tak hanya itu, Iman menerangkan bahwa setiap peraturan yang didiskusikan di kontrak perkuliahan juga perlu dikritisi oleh mahasiswa.
Permasalahan yang berakar dari kesalahpahaman tersebut dinilai AM sebagai sebuah pelajaran agar ke depannya mahasiswa tidak meremehkan pertemuan pertama perkuliahan. “Justru karena saat itulah kesepakatan antara dosen dan mahasiswa dibuat, hendaknya kedua belah pihak bisa berhadir dan aktif,” ujarnya.
Guna mengatasi asumsi mahasiswa yang semakin keruh, Iman menerangkan bahwa mahasiswa dapat menyampaikan keluhan mereka di evaluasi dosen sebelum pengisian Kartu Rencana Studi (KRS) atau bisa secara langsung ke Kaprodi. “Dengan catatan, mahasiswa dapat memberikan informasi yang benar sesuai dengan fakta yang terjadi,” ujarnya. Ia mengatakan bahwa evaluasi dan catatan tersebut, akan dibawa ke dalam rapat bersama KPS untuk ditegur atau pengurangan waktu mengajar.
Senada dengan AM, Nizar Hidayat selaku Dosen Ilmu Komunikasi juga mengharapkan seluruh civitas akademika di lingkungan ULM agar dapat lebih tanggap dalam menyikapi masalah ketimpangan nilai. “Dengan meningkatkan transparansi dalam penilaian agar ke depannya tidak terjadi kesalahpahaman antar mahasiswa dan dosen,” tutupnya saat diwawancarai secara daring, Senin (24/7).
(RAY, MNJ)
Leave a Reply