Era digital yang hadir dengan beragam kemudahan yang serba instan dan tanpa batas membuat masyarakat semakin mudah mendapatkan informasi. Namun, perkembangan teknologi yang nyaris tidak terbendung bagaikan pisau bermata dua. Bukan tanpa alasan, maraknya berita bohong (hoax) merupakan buntut dari kemajuan zaman yang kini kian mengancam masyarakat.
Fenomena Penyebaran Hoax
Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat semakin dimudahkan dalam berkomunikasi. Berbeda dengan zaman dahulu, pada era globalisasi, kemajuan dan perkembangan teknologi informasi semakin terlihat jelas. Masyarakat zaman dahulu hanya mengandalkan surat untuk berkabar dengan orang lain. Namun, saat ini masyarakat dengan mudah menggunakan Whatsapp untuk berkirim pesan bahkan bertelepon. Lahirnya media sosial telah berhasil menjadikan pola perilaku masyarakat mengalami pergeseran, termasuk dalam berkomunikasi.
Hadirnya berbagai media sosial yang menggabungkan teknologi komunikasi baru dan tradisional telah memberikan pilihan kepada masyarakat untuk memilih informasi sesuai selera-nya. Media sosial memberikan kesempatan radikal kepada masyarakat dalam penyediaan, pemrosesan, dan distribusi informasi hanya dengan menggunakan sentuhan jari. Dengan menggunakan media sosial, masyarakat semakin mudah mengungkapkan pikiran dan aspirasi-nya, termasuk kehendak politik-nya.
Secara tidak langsung, media sosial telah berhasil membuka dan melebarkan ruang demokratis dan meningkatkan partisipasi rakyat dalam mengemukakan pendapatnya. Namun, disisi lain media sosial juga menjadi wadah baru penyalahgunaan kebebasan berdemokrasi dengan menyebarkan berita bohong atau hoax. Titik puncak maraknya penyebaran hoax di Indonesia merupakan masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) Indonesia pada tahun 2019.
Kontestasi Pilpres pada tahun 2019 sempat diwarnai kampanye negatif dengan ujaran kebencian (hate speech) dan hoax. Media sosial (seperti Facebook dan Twitter) dan aplikasi chatting (seperti Whatsapp) menjadi saluran utama yang digunakan untuk menyebarkan konten hoax. Sepanjang masa kampanye Capres-Cawapres Pilpres 2019, kabar bohong secara masif mempengaruhi opini publik, menyerang kandidat dan partai politik peserta pemilu, bahkan penyelenggara pemilu. Dari fenomena tersebut, dapat disimpulkan hoax menjadi sebuah “senjata” efektif bagi setiap kubu untuk menjatuhkan lawan-nya.
Pemerintah Melawan Hoax
Dipicu oleh perkembangan teknologi, kini hoax semakin berkembang pesat. Namun, sayangnya perkembangan teknologi ini tidak diiringi dengan kesiapan literasi digital pengguna-nya, termasuk di Indonesia. Masyarakat yang masih awam terhadap penggunaan teknologi membuat permasalahan hoax di Indonesia menjadi semakin pelik. Kemudahan dalam mengakses informasi justru membuat masyarakat semakin mudah tertipu dengan berita palsu yang cukup sulit diidentifikasi keasliannya. Berlindung dengan kata “kebebasan berbicara” hoax semakin meresahkan dan menjadi momok masyarakat.
Mudahnya masyarakat dalam terpengaruh oleh suatu berita yang tanpa mencari tahu kebenarannya menimbulkan permasalahan. Kepercayaan masyarakat terhadap suatu berita telah memunculkan efek domino, yaitu membuat masyarakat semakin tidak cerdik dengan menerima berita tanpa memeriksa kebenarannya terlebih dahulu. Menyikapi permasalahan tersebut, pemerintah Indonesia pun berusaha mencegah dan meminimalisir berita palsu, terutama di media sosial. Dalam ranah hukum, pemerintah dengan serius merilis Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Melalui pasal-pasal di dalamnya pemerintah bertujuan untuk menggiring para penyebar konten berita palsu ke meja hijau.
Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang ITE mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik. Undang-undang yang telah berlaku sejak tahun 2008 ini menjadi terobosan bagi dunia hukum dan mempunyai potensi untuk berlaku efektif. Bukan tanpa alasan, pasal didalamnya mampu mendukung masyarakat yang saat ini cenderung selalu menggunakan teknologi informasi elektronik dalam kegiatan sehari-harinya. Selain mencegah adanya kejahatan di internet, UU ITE juga mampu mengakomodir kepastian hukum bagi masyarakat yang melakukan transaksi elektronik. Hal ini juga membawa dampak positif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Peran Mahasiswa Perangi Hoax
Secara garis besar, UU ITE telah berhasil menjawab kebutuhan masyarakat dalam melakukan kegiatan di media sosial. Akan tetapi, persebaran hoax tetap masif dan sulit untuk dibendung. Hal ini tidak terlepas dari tingkat penggunaan media sosial di Indonesia yang terus mengalami kenaikan drastis. Namun, perkembangan ini sayangnya tidak diiringi dengan peningkatan kecakapan digital masyarakat-nya. Oleh karena itu, masyarakat perlu dipersiapkan dengan kecakapan digital. Kemampuan ini penting untuk dimiliki setiap individu. Bukan tanpa alasan, kemampuan inilah yang menjadi bekal masyarakat untuk mampu berpikir kritis dan memahami informasi dengan baik.
Berkaca pada kasus yang baru-baru ini sedang viral di masyarakat, yaitu disinformasi mengenai penunjukan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2040 oleh Federation Internationale de Football Association (FIFA). Hal ini menandakan bahwa kepastian hukum yang diberikan oleh pemerintah belum cukup tetapi dibutuhkan juga kecakapan digital masyarakat untuk aktif dan selektif dalam menerima, memproduksi, dan menyebarkan informasi yang beredar di media sosial. Sebagai agen perubahan, mahasiswa memiliki peran vital dalam berkontribusi memutus rantai penyebaran berita palsu di media sosial dan menciptakan masyarakat yang cakap digital. Perubahan positif ini dapat diwujudkan dengan berkontribusi aktif dalam memproduksi dan menyebarluaskan konten positif. Konten positif ini dapat berupa konten yang mendidik dan membangun karakter bangsa.
Melalui media sosial, mahasiswa menjadi ‘senjata’ yang ampuh dalam menghadang hoax. Dalam perangi gempuran hoax, mahasiswa dapat aktif memberikan edukasi literasi dan pembekalan kepada masyarakat, seperti edukasi dalam menyaring dan menyeleksi berita. Edukasi ini dapat dimulai dengan menggiring masyarakat untuk mengecek pada sumber media yang telah terverifikasi oleh dewan pers atau mainstream. Setelah membangun kepercayaan masyarakat terhadap media mainstream, selanjutnya mahasiswa dapat mengajak masyarakat untuk produktif dalam memproduksi dan menyebarluaskan berita. Disertai dengan beragam kampanye positif anti hoax, seperti “Gen Posting” dan “Saring Sebelum Sharing” di media sosial, mahasiswa dapat membantu masyarakat untuk lebih cakap dalam memanfaatkan setiap informasi yang diterima dari media sosial. Dengan demikian mahasiswa akan menciptakan lingkungan digital yang dipenuhi informasi bermanfaat dan menggantikan gempuran berita hoax.
Dapat disimpulkan, mahasiswa berperan penting dalam mengantisipasi dan mengurangi persebaran hoax di media sosial. Mahasiswa sebagai agen perubahan sekaligus aktor pendidikan, seyogyanya tidak hanya menjadi seorang penonton terhadap permasalahan hoax dan rendahnya tingkat literasi digital masyarakat. Gelar “maha” yang disematkan kepada mahasiswa merupakan sebuah tanggung jawab besar. Mengantisipasi hoax dapat diterapkan dengan mengembangkan tingkat literasi digital masyarakat. Dengan kecakapan digital, masyarakat dapat menilai suatu berita secara objektif dan mempermudahnya dalam mengolah serta menyaring informasi yang didapat. Mahasiswa harus berkomitmen dalam tingkatkan literasi digital masyarakat. Bukan tanpa alasan, meningkatnya literasi digital masyarakat merupakan langkah awal dalam mengatasi permasalahan persebaran hoax di Indonesia. Masyarakat cakap digital akan meminimalisir penyebaran hoax dan menghasilkan lingkungan digital yang positif.
(ABG)
Tulisan ini pernah diikutsertakan dalam lomba penulisan opini “Marvelous Day of Peristiwa” LPM Peristiwa FH ULM dan mendapat predikat juara 2.
Leave a Reply