Indonesia Darurat Literasi lantaran Kebijakan Tanpa Skripsi

Tanpa Skripsi
Sumber: freepik.com

Mengutip dari bbc.com, Kamis (31/8) Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Republik Indonesia, Nadiem Makarim, telah memutuskan bahwa skripsi bukan lagi menjadi penentuan tugas akhir mahasiswa. Kebijakan tersebut diiringi dengan penambahan opsi syarat kelulusan mahasiswa dan setiap perguruan tinggi diberi kebebasan untuk merancang sendiri standarnya. Lantaran kebijakan yang demikian, isu mengenai ketidakwajiban skripsi sebagai persyaratan utama ini nyatanya dapat berpengaruh pada rendahnya minat literasi mahasiswa. 

Minat dan Problematika Literasi di Indonesia 

Mengungkit perihal literasi, tingkat minat literasi masyarakat Indonesia sangatlah rendah. Berdasarkan data United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), indeks minat baca anak Indonesia hanya mencapai 0,001% atau 1:1000 orang yang memiliki minat baca serius. Angka tersebut tentunya menjadi hal yang sangat menyedihkan mengingat salah satu tujuan mulia negara ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Berdasar dari persoalan ini, skripsi yang hadir sejak dulu sebagai salah satu tugas akhir mahasiswa dianggap mampu menjadi solusi peningkatan literasi anak bangsa.  Dianggap mampu dikarenakan dalam prosesnya mahasiswa dituntut untuk membaca dan menulis berbagai karya ilmiah. Hal tersebut sejalan dengan pendapat dari Lisa Ahriyanti, Mahasiswa Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lambung Mangkurat (FISIP ULM) 2023. “Mahasiswa dilatih untuk berpikir kritis dan menganalisis suatu perkara melalui skripsi. Maka dari itu, sudah jelas kemampuan literasi juga meningkat,” ujarnya saat diwawancarai daring, Selasa (12/9).

Tidak hanya tentang kepenulisan, tetapi juga topik dari skripsi nyatanya dapat berpengaruh terhadap pendalaman pengetahuan mahasiswa. Jika ditelaah lagi, topik yang dipilih dalam skripsi merupakan topik ilmiah yang mana tidak lazim untuk dibicarakan dalam kehidupan sehari-hari. “Sebagai mahasiswa, menurut saya penulisan karya ilmiah memang seharusnya dilestarikan karena pengetahuan kita selama perkuliahan akan diuji dan dituangkan ke dalam sebuah karya ilmiah,” ujar Alya Safira, Mahasiswa Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis ULM 2023, saat diwawancarai secara daring, Selasa (12/9).

Skripsi Sokong Literasi

Mengingat fakta bahwa Indonesia menjadi salah satu negara dengan minat literasi yang rendah, tanpa kehadiran skripsi nampaknya malah semakin memperburuk fakta yang ada. Mahasiswa menjadi kurang terlatih dalam penulisan karya ilmiah, mahasiswa tidak memiliki media yang sama untuk melatih mentalitas dan kualitas kepenulisan, serta mengurangi salah satu sarana mahasiswa untuk meningkatkan literasi mereka. Berbagai proyeksi negatif akibat peniadaan skripsi tersebut harus dipersoalan tesebut harus dipertimbangan lebih lanjut. 

Selain itu, kontribusi mahasiswa dalam hal penelitian dan keterampilan akademik mahasiswa juga dapat memberi ruang mahasiswa untuk meneliti sesuai dengan minat dan kemampuannya. Dikutip dari jawapos.com, tugas akhir seperti skripsi, tesis, dan disertasi akan memberikan peluang bagi mahasiswa untuk melakukan penelitian yang berkontribusi pada pengetahuan dan pemahaman di bidang yang sesuai dengan minatnya. Apabila tugas akhir ini dihapus, maka dapat jumlah penelitian dan kontribusi ilmiah perguruan tinggi akan berkurang. Oleh karenanya bisa saja memunculkan keraguan tentang sejauh mana perguruan tinggi menetapkan standar akademik yang tinggi.

Menilik dari berbagai gambaran dampak buruk dari penghapusan skripsi, dapat dinyatakan bahwa skripsi layak menjadi wadah untuk melatih meningkatkan literasi. Melalui proses pengerjaan skripsi, mahasiswa terus dipacu untuk membuat inovasi, mengenal penulisan dan literasi dunia ilmiah. Maka dari itu, ketika mahasiswa meningkatkan literasi mereka dari karya ilmiah, mereka akan terlatih berpikir kritis, analitis, sistematis, solutif, dan logis. 

(NIJ, SR)