Sistem perkuliahan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lambung Mangkurat (FISIP ULM) terus dikeluhkan oleh mahasiswa. Pasalnya, hingga kini FISIP masih menerapkan sistem perkuliahan dengan tiap kelas yang diisi oleh satu angkatan sekaligus. Di samping itu, bobot Satuan Kredit Semester (SKS) yang diberikan sejumlah dosen juga dinilai tidak maksimal. Tidak hanya berdampak pada proses pembelajaran, peristiwa tersebut juga berimbas pada kualitas perkuliahan.
Kapasitas Ruangan Tak Mumpuni
Berkuliah dalam satu kelas yang diisi satu angkatan sekaligus menjadi polemik bagi mahasiswa FISIP ULM. Tidak sedikit dari mereka beranggapan bahwa hal ini membuat perkuliahan terasa kurang kondusif. Salah satunya Kamilia Wulan Nadira, Mahasiswa Prodi Administrasi Bisnis 2021, yang mengaku terganggu dengan sistem perkuliahan yang diterapkan. “Perkuliahan yang diisi oleh satu angkatan membuat saya kurang nyaman karena suara bising dan ruangan terasa panas, yang akhirnya bisa mengganggu konsentrasi belajar,” ujarnya saat diwawancarai secara daring, Kamis (15/3).
Tidak hanya mengurangi konsentrasi, perkuliahan yang diisi oleh satu angkatan juga dianggap “membebani” lantaran kapasitas ruangan yang belum mumpuni, seperti yang diungkapkan Muhammad Thaufik Zaky, Mahasiswa Administrasi Publik 2021. “Sebenarnya saya tidak masalah dengan sistem perkuliahan yang diisi satu angkatan, asalkan kapasitas ruangannya juga memadai,” ungkapnya saat diwawancarai secara daring, Rabu (15/3). Ia menambahkan, jika ruang kelas kurang memadai maka akan memengaruhi keefektifan kegiatan perkuliahan. “Dengan kondisi tersebut, menurut saya akan lebih efektif jika dosen mengajar 50-60 mahasiswa saja dalam satu ruangan,” lanjutnya.
Senada dengan mahasiswa, Erma Ariyani, salah seorang Dosen Prodi Administrasi Publik juga menganggap bahwa sistem kuliah satu angkatan ini berimbas pada efektivitas pembelajaran. “Batas efektivitas proses pembelajaran dalam suatu ruangan idealnya diisi maksimal 60 mahasiswa sehingga interaksi dalam belajar bisa berjalan dengan baik,” ungkapnya saat diwawancarai daring, Rabu (22/5). Erma menambahkan, solusi yang bisa dilakukan yakni dengan cara membagi mahasiswa sesuai kelasnya masing-masing. Namun, menurutnya hal tersebut bisa menyebabkan waktu perkuliahan lebih panjang karena harus menyesuaikan dengan ruang kelas yang tersedia.
Jam Perkuliahan “Terpangkas”
Permasalahan sistem perkuliahan di FISIP nyatanya tak berakhir sampai di sana. Ketetapan bobot SKS tiap mata kuliah yang dinilai tidak maksimal pun turut menjadi pertanyaan besar. Rizal Fahmi, Mahasiswa Administrasi Publik 2023, turut mempertanyakan waktu perkuliahan yang singkat sampai tidak memenuhi bobot SKS. “Menurut saya jika kurang beberapa menit dari jumlah SKS itu masih wajar, tetapi jika jam perkuliahan selesai lebih cepat dan singkat dari semestinya itu bisa dipertanyakan,” tuturnya saat diwawancarai secara langsung, Rabu (15/5).
Sama halnya dengan yang dialami Rizal, Kamilia juga menyebut bahwa dirinya kerap menemui dosen yang tidak memaksimalkan SKS sesuai kebijakan. “Biasanya ada yang mengajar hanya 30 menit, ada juga dosen yang memiliki jadwal lain secara tiba-tiba sehingga perkuliahan selesai lebih cepat,” terangnya. Di samping sejumlah dosen yang memang memiliki jadwal lain, Kamilia menganggap bahwa hal ini terjadi lantaran mahasiswa yang tidak betah berlama-lama di dalam ruangan. “Terkadang muncul kendala dari fasilitas kampus seperti listrik yang tiba-tiba padam saat pembelajaran dan ada beberapa mahasiswa juga yang ribut di kelas,” ujarnya.
Perihal bobot SKS yang dinilai mahasiswa tidak selalu maksimal, Erma selaku dosen menuturkan bahwa perhitungan satu SKS sendiri setara dengan 170 menit kegiatan belajar mengajar di kelas per minggunya. “Dalam 170 menit tersebut dibagi 50 menit tatap muka di kelas dan 120 menit pemberian tugas,” jelas Erma.
Erma pun menyebutkan bahwa setiap dosen mempunyai metode pembelajaran masing-masing yang tidak bisa diseragamkan, serta menyesuaikan mata kuliah yang diajarkan. “Setiap mata kuliah juga memiliki karakteristik yang berbeda, ada yang perlu banyak teori, praktik ke lapangan, atau bahkan tugas yang banyak untuk menunjang proses pembelajaran,” jelasnya.
Pihak Fakultas Usahakan Perbaikan
Rentetan keluhan yang terus diutarakan pun ditanggapi oleh pihak fakultas. Muhammad Raji Azmi, Bagian Akademik FISIP ULM menjelaskan bahwa teknis perkuliahan ini sebenarnya adalah wewenang dosen dan hasil kesepakatan dosen dengan mahasiswa. “Teknis perkuliahan itu hasil kesepakatan antara dosen dengan mahasiswa, tetapi tetap di bawah aturan dosen yang mengajar. Kami dari akademik hanya mengkoordinir ruang kelas saja,” tukasnya saat diwawancarai langsung, Senin (20/5).
Azmi juga menambahkan untuk menyiasati sistem perkuliahan tersebut, pihak akademik tentu mencarikan ruang kelas yang memadai. “Misalkan ada yang melebihi kapasitas, kita bisa beri opsi ruangan lain sesuai kapasitas yang mencukupi di jam dan hari yang sama. Jika tidak ada, kita berikan opsi di jam yang berbeda, tetapi tetap di hari yang sama,” jelasnya.
Bukan hanya pihak akademik FISIP, bagian umum FISIP ULM juga kerap mengusahakan perbaikan terhadap kondisi ruangan yang kurang memadai. Hal ini diungkapkan Indra Yuslianto selaku Kepala Bagian Umum FISIP, yang menerangkan bahwa usulan perbaikan sudah disampaikan kepada pihak universitas berdasarkan anggaran yang telah disiapkan. “Kami sudah mengajukan anggaran di tahun ini dan masih menunggu pengerjaannya. Selanjutnya, kami akan melakukan follow up kepada universitas,” terangnya saat diwawancarai langsung, Kamis (16/5). Ia menambahkan bahwa pihaknya juga sudah mengusulkan perbaikan ruangan dan juga penambahan fasilitas penunjang lainnya. “Kami sudah meminta untuk dilakukan renovasi pada ruangan yang kurang memadai, seperti penurunan plafon dan perbaikan keramik. Selain itu, ada juga usulan untuk pembelian komputer dan rehabilitasi,” ungkapnya.
Civitas Akademika Taruh Harapan
Usulan perbaikan yang direncanakan pihak fakultas tuai harapan dari civitas akademika untuk keberlangsungan sistem perkuliahan ke depannya. Kamilia pun menaruh harapan besar terhadap sistem perkuliahan di FISIP ULM. “Harapan saya semoga perkuliahan nanti menjadi lebih baik dengan adanya inovasi dari civitas akademika yang terus meningkatkan kualitas pendidikan,” ujarnya.
Masukan terhadap sistem perkuliahan di FISIP ULM pun diutarakan oleh Rizal. “Menurut saya, untuk semester berikutnya sistem perkuliahan sebaiknya dipisah sesuai kelas masing-masing,” tegasnya. Lebih lanjut, Rizal memberi masukan untuk perkuliahan mahasiswa baru bisa langsung dipisah sesuai kelasnya dari awal semester agar tidak merasakan kondisi perkuliahan yang kurang nyaman dan efektif dalam ruangan yang diisi oleh banyak mahasiswa.
Merespons pernyataan dari mahasiswa, pihak fakultas juga memupuk harapan besar kepada mahasiswa agar bisa berkolaborasi dan bersinergi untuk memaksimalkan jalannya perkuliahan, seperti yang disampaikan oleh Indra Yuslianto, Kepala Bagian Umum FISIP ULM. “Kita mengharapkan kerja sama dari mahasiswa agar lebih aktif dan peduli terhadap jadwal perkuliahan mereka,” ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa tidak jarang menemui mahasiswa yang kurang peduli terhadap regulasi atau prosedur yang ditetapkan seperti keterlambatan membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT). “Tidak jarang kami menemui mahasiswa yang kurang peduli terhadap regulasi dan prosedur perkuliahan, padahal dalam pelayanan prima perlu timbal balik agar pihak administrasi bisa memberikan pelayanan terbaik,” tukasnya.
Sama halnya dengan Indra, Azmi juga mengungkapkan harapannya bahwa dari sisi mahasiswa bisa memaksimalkan dan memahami alur perkuliahan. “Dukungan dari mahasiswa yang bisa mengerti teknis perkuliahan dan sistem belajar sangat diharapkan untuk perkembangan ke depannya. Setiap instansi atau lembaga pasti selalu mengusahakan untuk perbaikan, tetapi ada beberapa tahapan, regulasi, serta kebijakan yang diperlukan,” tutupnya.
(MAL, MRF, NAR)
Leave a Reply