Nyanyian Luka Meratus dalam Panggung Seni “2000 + 25 = S.O.S!”

Malam tenang menaungi Gedung Balairung Sari Taman Budaya Kalimantan Selatan
saat Kelompok Halilintar membuka pentas “2000 + 25 = S.O.S!” pada Kamis (17/4).
Keheningan pecah kala Handriyan Yudha Sakti menggemakan nyanyian Suku Dayak
Meratus, yang diiringi kepedihan akibat kerusakan alam dan kekerasan di Pegunungan
Meratus. Pementasan yang mengangkat naskah karya Y.S. Agus Suseno ini merupakan
rangkaian dari Aruh Teater Kalimantan Selatan yang mengusung tema “Lokalitas Kalimantan
Selatan”.

Meratus Terkoyak

Pegunungan Meratus, yang membentang luas di Kalimantan Selatan menyimpan
kekayaan hayati melimpah serta menjadi rumah bagi beragam flora dan fauna endemik.
Tetapi, tangan-tangan rakus perlahan menggerogoti Pegunungan Meratus dengan pembalakan
hutan liar, tambang batu bara ilegal, konsesi perkebunan, hingga eksploitasi hutan.
Dilansir dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Selatan,
pada tahun 2019 terdapat lebih dari 4.300 hektare lahan di kawasan Meratus yang telah
dikonversi menjadi wilayah pertambangan ilegal. Tak hanya itu, WALHI juga mencatat
terdapat 37 kasus pembalakan liar, tujuh kasus tambang ilegal, serta alih fungsi hutan menjadi
perkebunan sawit.

Kerusakan Meratus tak sekadar dihimpun dalam data, tapi juga disuarakan lewat
panggung seni. Selama satu jam, Handriyan Yudha Sakti, pemeran utama dalam “2000 + 25
= S.O.S!” berhasil menggambarkan penolakan masyarakat adat terhadap ekspansi tambang
dengan adegan sensasional. Di bawah sorotan lampu redup ia berdiri tegak, tubuhnya terbalut
tanah merah. Ia lantang mengucapkan seruan yang lahir dari lubuk hati Suku Dayak, bahwa
Meratus bukan hanya tanah, tetapi warisan jiwa yang harus dilindungi. “Jika mereka tetap
memaksa masuk, kami siap berperang. Kami siap mati,” tegasnya menirukan suara Suku
Dayak Meratus.

Naskah “2000 + 25 = S.O.S!” karya Y.S. Agus Suseno merupakan gambaran kejadian
nyata yang pernah terjadi pada tahun 2000 saat PT Kodeco Timber ingin mengeksploitasi
daerah di Hulu Sungai Selatan. Naskah monolog yang berlatarkan Pegunungan Meratus ini
mengisahkan ketenteraman masyarakat Meratus sebelum datangnya orang-orang berseragam
lengkap dengan perkakas penghancur memporak-porandakan tanah kelahiran mereka.
“Kanda Agus Suseno menulis naskah ini karena terinspirasi dengan cerita aslinya,” ungkap
Handriyan dalam wawancara langsung, Jumat (25/4).

Suasana pertunjukan membeku dalam pergulatan batin yang pekat. Properti yang
tergeletak di panggung pun bukan barang mewah. “Properti sederhana yang kami gunakan
hanyalah balok kayu, ranting pohon, batang kayu, dan pelepah kelapa,” ujar Handriyan.

Tekad Teguh Halilintar di Aruh Teater

Sebagai penampil parade teater pada Aruh Teater Kalsel 2025, Kelompok Halilintar
bukanlah pendatang baru dalam ajang teater tahunan ini. Selain pementasan di gedung,
mereka juga rutin menggelar pentas keliling, yang membuat mereka semakin terkenal di
dunia seni. Kilas balik, kelompok ini didirikan pada 29 November 2003 oleh Handriyan
Yudha Sakti dan Andi Sahludin, adapun penggerak awalnya antara lain Muhammad Abror
dan Muhammad Irham Hidayat.

Sebelum mereka sepakat membawakan “2000 + 25 = S.O.S!”, ada proses panjang
pencarian naskah yang dianggap paling menggambarkan kegelisahan mereka. Bagi Halilintar,
“2000 + 25 = S.O.S!” menjadi sarana penghubung masyarakat dalam menyuarakan aspirasi
yang tidak terucap. Hal ini berkaitan dengan nasib masyarakat adat Pegunungan Meratus
yang kini dibayangi oleh ekspansi tambang. “Kami gencar mengangkat tema Save Meratus
sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan dan tanah adat,” ungkapnya dengan nada
tegas.

Mulanya, Handriyan ragu Kelompok Halilintar bisa tampil di Aruh Teater Kalsel
2025 karena kecemasannya akan kesehatan anggota lain, Andi Sahludin. Tetapi setelah
diyakinkan oleh Andi, Handriyan pun memutuskan tampil bersama di acara ini. “Rencananya
konsep pentasnya itu tidak monolog, jadi saya dengan Andi tampil berdua,” jelas Handriyan
mengingat kembali proses perencanaan pentas.

Pada hari pementasan, Andi kembali mengalami masalah kesehatan sehingga
memaksanya mundur beberapa jam sebelum pentas dimulai. Sebagai satu-satunya anggota
yang tersisa, Handriyan mengambil keputusan besar untuk tampil sendirian. Baginya,
pertunjukan ini harus terus berjalan. Sore itu, Handriyan segera meminta bantuan kepada para
panitia untuk mencarikan properti yang diperlukan saat pementasan. “Saya minta kepada
panitia untuk mencarikan properti, yang akhirnya didapatkan dari pembuangan sampah bekas
pementasan sebelumnya,” cetusnya.

Meski tanpa persiapan matang, Handriyan tetap berhasil membuat penonton terpukau
di atas panggung. Dalam pementasan ini, ia mengakui tidak menghafal seluruh bagian
naskah, kecuali bagian yang telah dipersiapkan untuk ditampilkan bersama Andi. “Saat
pentas berlangsung, saya sendiri tidak hafal dengan naskahnya, naskahnya itu hanya saya
pegang dan sisanya improvisasi,” ujarnya disertai tawa kecil.

Pesan Emosional yang Menyentuh

Kendati persiapan yang dilakukan secara mendadak, pementasan “2000 + 25 =
S.O.S!” tetap berjalan lancar dan mendapat respons positif. Kelompok Halilintar berhasil
menyampaikan pesan mendalam yang tidak hanya memukau, tapi juga membangkitkan
kesadaran akan isu lingkungan.

Hijromi Arijadi Putera, Ketua Pelaksana Aruh Teater Kalsel 2025 menegaskan bahwa
teater memiliki peran penting sebagai alat untuk menjembatani isu-isu sosial dengan publik.
Melalui bahasa tubuh dan dialog, teater mampu membawa persoalan kedaerahan yang sering
terpinggirkan ke ruang publik. “Teater adalah sebuah alat yang bisa digunakan untuk
menyuarakan sesuatu yang harus disampaikan kepada masyarakat,” jelas Hijromi dalam
wawancara daring, Jumat (25/4).

Tak hanya penyelenggara, penonton pun ikut terhanyut ke dalam pesan yang
disampaikan. Salah satunya Nur Hikmah, Mahasiswa Program Studi Administrasi Bisnis
Politeknik Negeri Banjarmasin (Poliban). Bagi Nur, teater bukan hanya tontonan, melainkan
cambuk untuk membangkitkan aksi nyata. “Jangan hanya menonton terus lupa. Kita harus
melakukan aksi nyata, sekecil apapun itu,” ungkapnya dalam wawancara daring, Jumat
(25/4).

Nur menilai tema pementasan ini sangat relevan dengan isu-isu yang ada di sekitar
kita, termasuk pentingnya kampanye Save Meratus untuk melindungi kawasan tersebut.
“Tema ini sangat menarik karena mengangkat isu yang dekat dengan kehidupan kita,
terutama mengenai Pegunungan Meratus yang harus dijaga,” tutupnya.

Seni Suarakan Aksi Nyata

Aruh Teater Kalsel tak sekadar ajang pertunjukan seni, tetapi juga menjadi wadah
menenun kesadaran bersama atas luka-luka bumi dan jerit keadilan yang kerap terabaikan.
Melalui pementasan “Save Meratus”, Kelompok Halilintar berharap pemerintah lebih
memperhatikan lingkungan sekitar Meratus. “Tentunya pemerintah harus memperhatikan
masyarakat adat dan lingkungan Meratus, serta tidak mengkhianati kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah,” tegas Handriyan.

Menurutnya, kepedulian terhadap lingkungan bukanlah ungkapan belaka, melainkan
sikap yang harus terus dihidupkan, terutama ketika melihat kondisi Pegunungan Meratus
yang kian memprihatinkan. “Kita harus lebih peduli terhadap lingkungan, terhadap keadaan
sekitar, serta hal-hal yang menyangkut kemanusiaan dan keadilan. Kita juga harus peduli
terhadap alam,” tutupnya.

Sementara itu, Hijromi berharap seni bisa menjadi kunci yang membuka kesadaran
sebelum terlambat. “Semoga masyarakat sadar sebelum semua kekhawatiran itu terjadi.
Melalui pengingat bersama, diharapkan semakin banyak pihak yang mulai berbenah dan
menempatkan diri dengan bijak untuk menjaga alam,” pungkasnya.
(FZH, MAO, RSA)