Di era digital, media sosial bak etalase yang terbuka lebar untuk menilik potongan kehidupan yang dijalani seseorang. Hanya bermodal jempol tangan, potongan kehidupan baik dalam foto atau video berstatus open access bisa bebas dijangkau oleh audiens. Akan tetapi, keluwesan akses di media sosial ini kerap kali disalahgunakan menjadi kemudahan untuk mendapatkan kenikmatan secara visual, bahkan seksual. Jika diketik di laman pencarian “nama kampus” dan ditambah “cantik”, sederet nama universitas akan muncul lengkap dengan ratusan bahkan ribuan unggahan foto pribadi mahasiswi “cantik”.
Pelanggengan Budaya Patriarki di Kampus
Muasal dari masifnya akun “kampus cantik” ini diduga diawali oleh @uicantikid dan @ugmcantik yang kini juga dijumpai di Universitas Lambung Mangkurat (ULM). Terhitung ada tiga akun dengan nama serupa, yaitu @unlambungas, @ulmbungas dan @ulm.bungas, yang mengunggah sejak Kamis, (13/4/2023) dengan perhitungan saat ini telah memuat sebanyak 55 foto mahasiswi ULM yang disertai nama, Program Studi (Prodi), keterangan tambahan, dan tag akun Instagram pemilik foto. Pada keterangan bio akun dituliskan dengan jelas keterbukaan pengunggahan foto, “Bagi teman-teman yang mau merekomendasikan temannya bisa spill di komen yaa.”
Tim LPM INTR-O telah berbincang dengan beberapa narasumber yang fotonya pernah diunggah oleh akun @ulm.bungas. Pertama, salah seorang Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) 2023. Mulanya, pada (8/2023) lalu, ia tiba-tiba mendapatkan pesan dari administrator atau admin Instagram tersebut yang berisi permintaan perizinan unggahan. “Permisi ka, kami dari admin @ulm.bungas izin meng-upload foto kaka untuk postingan kami nih, apakah boleh?” pesan admin tersebut.Tanpa pikir panjang, mahasiswi ini mengiyakan sebab mengira akun tersebut adalah akun resmi kampus dan ia merasa sama seperti mengunggah foto di media sosialnya sendiri. Lantas, swafoto beserta keterangan nama dan prodi pun ia kirimkan. Seminggu kemudian fotonya telah nangkring di feed @ulm.bungas. “Beberapa foto temanku juga ada di situ dan mereka enggak ada masalah mengenai itu. Aku juga terbiasa posting di sosmed,” ungkapnya pada wawancara secara luring pada Kamis (17/10).
Perasaannya berputar 180 derajat usai mendalami isu-isu objektifikasi perempuan. Kini, ia merasa eksistensi @ulm.bungas memberi dampak negatif, yaitu melanggengkan standar kecantikan yang dibuat oleh laki-laki. “Aku bertanya-tanya untuk apa akun itu ada. Padahal, semua perempuan itu cantik, apalagi punya skill masing-masing. Sekarang aku agak menyesal sudah berkontribusi untuk akun yang mengobjektifikasi perempuan,” sesalnya.
Pesan serupa juga diterima oleh Halya Fasha yang juga merupakan Mahasiswi FISIP 2023. Permintaan dari admin @ulm.bungas ia sambut dengan hangat sebab merasa kecantikannya tervalidasi melalui akun tersebut. “Ada kesenangan tersendiri, kalau masuk akun itu berarti kita diakui cantik, kan,” ucapnya dengan riang saat diwawancarai secara luring pada Rabu (16/10).
Berbeda dengan sebelumnya, Halya justru memandang eksistensi akun @ulm.bungas sebagai wadah apresiasi bagi mahasiswi. Ia juga mengaku pengikut Instagram-nya melonjak cepat sejak unggahannya terpampang. “Beberapa asalnya dari fakultas dan prodi lain dan kebanyakan perempuan juga,” jelasnya.Kendati begitu, Halya mengungkapkan kekhawatirannya akan dampak negatif dari keputusannya. “Bukan menuduh, ya, gak menutup kemungkinan laki-laki yang melihat unggahan itu berpikiran kotor,” timpalnya.
Sumber Validasi atau Justru Objektifikasi
Eksistensi akun @ulm.bungas yang menyinggung isu objektifikasi dan komodifikasi perempuan mendulang pandangan pro dan kontra dari mahasiswa ULM. Deavindy Amanda Gresita, Mahasiswi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) 2023 secara sadar menyatakan kontra akan akun @ulm.bungas. Menurutnya, akun tersebut tidak relevan dengan dunia akademik. “Akun itu membangun standardisasi kecantikan dan menyingkirkan narasi akademik kampus,” tegasnya dalam wawancara daring pada Selasa (15/10).
Ia melanjutkan bahwa perempuan jadi rentan terhadap pelecehan secara tidak langsung. Menurut Deavindy, perempuan semestinya tidak hanya dilihat sebagai objek semata. Sebaliknya, perempuan bisa menonjolkan potensi akademik dan non akademiknya.
Kontras dengan Deavindy, Nur Amalia, Mahasiswi Ilmu Komunikasi 2023 menemukan sisi positif dari @ulm.bungas, salah satunya adalah wadah untuk social branding. Menurutnya, branding yang positif seperti visual menarik dan dikenal khalayak sangat membantu dalam konteks mengikuti kontestasi semacam Nanang Galuh. “Akun ini berdampak positif untuk menaikkan kepercayaan diri dan membuka banyak peluang karena orang baik di dalam atau luar lingkungan kampus mudah mengenali kita, apalagi jika kita mempunyai prestasi membanggakan,” tuturnya saat diwawancarai secara daring pada Rabu (16/10).
Fungsi utama akun @ulm.bungas yang memamerkan visual perempuan pun ditampik positif oleh Amalia sebagai peluang untuk mendapatkan pekerjaan. “Akun ini bisa menjadi sumber tawaran pekerjaan yang mengharuskan memiliki kriteria visual,” tambahnya dengan optimis.
Bentuk Baru dari Budaya Konsumerisme
Masifnya eksistensi akun yang memamerkan visual perempuan ini direspons oleh Dosen Sosiologi, Ismar Hamid, sebagai bentuk baru dari budaya konsumerisme di mana perempuan dikomodifikasi untuk keuntungan tertentu. “Akun seperti @ulm.bungas sesungguhnya adalah panggung eksploitasi, eksistensi akun ini adalah cerminan bagaimana kemudian ketika eksploitasi perempuan itu di normalisasi,” tuturnya khawatir saat diwawancarai secara luring pada Jumat (18/10).
Ismar menyayangkan banyak perempuan yang merasa tervalidasi cantik ketika diunggah di akun itu sebab merasa memiliki nilai lebih, padahal hanya dirinya yang merasakan demikian dan di mana orang lain hanya sebagai pemuas visual atau nafsu. “Itu namanya kesadaran palsu, perempuan tidak sadar bahwa dirinya sedang dieksploitasi,” keluhnya.
Akar dari eksploitasi perempuan menurut Ismar adalah perempuan masih dianggap sebagai lapisan kedua atau pihak subordinat dalam masyarakat. Ismar mengungkapkan kekecewaannya karena perempuan juga ambil bagian dari upaya menormalisasikan budaya patriarki dan konsumerisme yang lebih merugikan bagi perempuan. Fenomena ini semakin menarik ketika dikaji dari sisi Psikologi. Rika Vira Zwagery, Dosen Psikologi ULM menjelaskan terdapat faktor internal dan eksternal yang mendasari seseorang untuk menampilkan dirinya secara sukarela di akun semacam @ulm.bungas. “Secara internal, orang dengan kebutuhan untuk menampilkan diri sendiri (the need of exhibition) yang tinggi cenderung menyukai dirinya dilihat oleh orang lain. Ada pula faktor eksternal yaitu reinforcement atau penguatan dari kuantitas social currency media sosial seperti suka, komentar, bagikan, yang memberikan validasi terhadap penampilan fisik seseorang,” jelasnya dalam wawancara daring pada Rabu (16/10).
Namun, Rika juga menyoroti dampak buruk jika perempuan hanya dinilai berdasarkan penampilan fisiknya. “Perempuan akan cenderung mengalami negative self-image yang berujung pada body-dissatisfaction atau rasa ketidakpuasan yang mendalam mengenai penampilan tubuh,” timpalnya.
Perlawanan Budaya dari Perempuan
Deavindy menekankan pentingnya berani menyuarakan hal-hal yang menyimpang dan melakukan tindakan nyata untuk menciptakan ruang aman terkhususnya bagi perempuan. “Semua hal dimulai dari diri sendiri, tumbuhkan rasa bahwa kita semua berharga. Kita bisa mengedukasi teman-teman untuk sama-sama peduli dan jadi ruang aman untuk korban, kita bangun kepercayaan diri korban dan merangkul korban dari akun tersebut,” tutupnya.
Selaras dengan Deavindy, Ismar Hamid menggaungkan pentingnya perlawanan budaya objektifikasi perempuan yang langgeng sejak lampau. “Ajak diskusi kritis dengan perempuan mengenai isu perempuan atau isu gender. Kita harus menuntun perempuan agar tak hanya merasakan, melainkan juga memahami apa yang terjadi. Kita harus mempopulerkan budaya kontradiktif, budaya yang progresif,” tutupnya dengan penuh harap.
(KAR/RHL)
Leave a Reply