Eksistensi Tugu 9 November sebagai Simbol Perjuangan Kemerdekaan

Mengenang darah merah yang mewarnai tanah Kampung Pengambangan, Banjarmasin Timur pada 9 November 1945, kini berdiri kokoh sebuah tugu yang menyimpan kisah pertempuran rakyat Banjarmasin melawan tentara Belanda. Tugu 9 November menandai bekas Markas Pertahanan Badan Pemberontakan Rakyat Indonesia Kalimantan (BPRIK) sektor Banjar Timur, saksi nyata perlawanan para pejuang kemerdekaan yang gigih berkorban untuk Kalimantan Selatan. Sejak 1950, monumen ini tak hanya menjulang sebagai penanda sejarah, tetapi juga mengukir semangat juang rakyat Banjarmasin dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

Kilas Balik Tugu 9 November

Tugu 9 November memiliki sejarah mendalam bagi warga Kota Banjarmasin. Dimulai pada 17 Oktober 1945, dari pucuk Pimpinan BPRIK, A. Ruslan bersama H. Hadariyah M menginisiasikan pembangunan markas pertahanan rakyat di Kampung Pengambangan. Markas ini dijadikan sebagai tempat berkumpulnya kelompok pasukan berani mati atau pada saat itu disebut fisabilillah untuk mengatur strategi penyerangan terhadap tentara Belanda. Setelah berhasil diresmikan, banyak masyarakat baik dari Banjarmasin maupun daerah lain seperti Sampit dan Hulu Sungai yang bergabung dalam kelompok pertahanan.

Strategi penyerangan pun mulai disusun dengan teliti oleh para pejuang sejak 1 November 1945. Alih-alih berjalan lancar, strategi penyerangan ini malah dibocorkan oleh beberapa antek-antek Belanda yang berpura-pura mendukung strategi penyerangan di depan para pejuang rakyat Banjarmasin. “Mereka itu orang bermuka dua, di depan bersikap baik, tetapi di belakang sejatinya mereka adalah musuh yang mengkhianati bangsa sendiri,” ucap Anang selaku pihak pengelola Tugu 9 November Banjarmasin saat diwawancarai, Minggu (10/11). Usut punya usut, tindakan pengingkaran kepercayaan tersebut dilakukan demi keuntungan pribadi. “Orang seperti mereka biasa disebut dengan antek-antek Belanda yang tentunya mendapatkan bayaran,” tambahnya.

Selepas salat Jumat, waktu siang hari pada 9 November 1945 para pejuang rakyat Banjarmasin ditemukan tak bernyawa akibat ulah pihak Belanda yang mengetahui kebocoran strategi serangan mereka. Jasad mereka ditemukan bergelimpangan di sekitar area monumen tugu bersejarah itu dengan kondisi berlumuran darah. Beberapa dari jasad mereka juga dihanyutkan di Sungai Martapura oleh penjajah Belanda yang telah mengantisipasi serangan tersebut. Eksekusi kejam yang dilakukan oleh pihak Belanda terhadap para pejuang rakyat Banjarmasin akhirnya menumbuhkan tekad pejuang yang tersisa untuk mencari para pengkhianat yang telah membocorkan strategi penyerangan itu. “Ada sekitar dua hingga empat orang yang terbukti membocorkan dan akhirnya mereka dibantai di tempat oleh para pejuang yang tersisa,” ungkap Anang.

Menjadi Ikon Kemerdekaan di Banjarmasin

Sejarah heroik yang melatarbelakangi didirikannya Tugu 9 November menjadikan monumen ini tidak hanya sebagai objek wisata sejarah, tetapi juga sebagai ikon kemerdekaan yang menggambarkan keberanian, solidaritas, dan pengorbanan para pejuang di Kalimantan Selatan. Keberadaannya memperkuat identitas Kota Banjarmasin dan menjadi sumber nilai ajaran patriotisme dari para pejuang terdahulu bagi masyarakat.

Selain itu, eksistensi dari monumen bersejarah ini pun berhasil menarik minat pengunjung dari berbagai daerah dan kalangan. “Pengunjung Tugu 9 November ini sudah dari luar daerah. Biasanya dari kalangan mahasiswa, peneliti, dan konten kreator yang membuat video kreatif di sini,” tutur Anang.

Bersamaan dengan itu, salah seorang mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat menyampaikan kesan pertamanya saat mengunjungi tempat wisata tersebut. “Saya merasa kagum dengan keberadaan Tugu 9 November karena mempunyai nilai sejarah yang tidak kalah dengan monumen bersejarah lainnya yang ada di luar pulau Kalimantan,” ungkap Miftahul Jannah mahasiswa Program Studi Administrasi Bisnis saat diwawancarai secara daring Kamis (14/11).

Selain menjadi daya tarik bagi para pengunjung, perjuangan di balik berdirinya tugu ini menjadi suatu kebanggaan dan kehormatan yang melimpah bagi warga Kampung Pengambangan. Rasa bangga yang tertanam dalam sanubari warga Kampung Pengambangan ini disorot kembali oleh Anang. “Sudah jelas mereka bangga dengan adanya tugu ini karena dulu kampung ini telah ikut berjuang untuk negara kita pasca proklamasi kemerdekaan,” ucapnya dengan bangga. Lebih dari sekadar struktur batu dan semen, tugu ini menjadi simbol penghargaan yang hidup atas pengorbanan para pendahulu. Kebanggaan itu pun kini diwariskan dari generasi terdahulu ke generasi sekarang.

Terus Konsisten untuk MelestarikanKebanggaan yang mengakar kuat di hati warga Kampung Pengambangan tidak berhenti sebagai perasaan belaka. Warga bertekad untuk terus menjaga dan merawat Tugu 9 November sebagai salah satu warisan sejarah di Tanah Borneo ini. “Tempo dulu, di tahun 70-80-an saat hiburan masih terbatas, orang tua sering berkumpul bercerita tentang sejarah daerah ini. Hampir tiap malam setelah magrib, mereka berbagi kisah sehingga anak-anak jadi paham sejarah kampung kami,” kenang Anang.

Upaya pelestarian Tugu 9 November 1945 lantas berhasil meningkatkan jumlah pengunjung, meski kurangnya atensi pemerintah menuai kekecewaan warga. “Pengunjung meningkat setiap tahunnya, tetapi warga kecewa dengan pemerintah yang tidak memfasilitasi karena tidak ada kepentingan di sini. Kalau musim hujan sering banjir karena drainase yang kurang memadai,” ungkap Anang dengan nada prihatin. Harapan lainnya juga datang dari pengunjung. “Semoga tugu ini bisa lebih dikenal sebagai warisan budaya yang dapat mengingatkan generasi penerus tentang perjuangan masa lalu rakyat Banjarmasin,” ungkap Miftahul Jannah saat diwawancarai secara daring Rabu (13/12).

Kendati demikian, hingga kini tugu ini masih eksis di kalangan anak muda setempat. “Rata-rata anak muda di sini tahu bahwa tempat ini adalah lokasi berkumpulnya para pejuang, mereka sekarang masih menaruh hormat pada sejarah ini dan masih senang tinggal di sini,” tutup Anang.

AKR, NIE, KZP